Sebuah buku karya Simon Winchester dalam Krakatoa: The Day the World Exploded (2006) telah menggambarkan suasana sebelum dan sesudah terjadinya letusan dan tsunami luar biasa dari aktifitas Gunung Krakatau di Selat Sunda pada 27 Agustus tahun 1883. Buku ini memang sangat fenomenal dan banyak dijadikan referensi terkait kisah letusan yang mempengaruhi iklim dunia tersebut. Dari buku tersebutlah cerita ini diuraikan lagi dengan cara yang berbeda.
Memasuki awal bulan Agustus tahun 1883, suasana Selat Sunda sudah menunjukkan kondisi lain dari biasanya, seperti gelombang air yang berubah dengan cepat dan tak terdua. Air laut sekitar Gunung Krakatau menunjukan gerakan dan gelombang melonjak-lonjak tak keruan, kemudian disaat lain bisa mendadak tenang seperti tak terjadi apa-apa.
Seorang pajabat kepala kantor telegraf Hindia Belanda Schruit di Anyer beberapa hari menjelang letusan sempat memperhatikan kondisi air laut sekitar pantai Anyar. Saat itu ia sedang mengambil makan siang, setelah itu ia membawa makanannya menuju meja makan di beranda luar. kemudian ia mengamati tiang asap dan air laut disekitarnya. Gerakan air laut itu ia rasa agak aneh, hal itu membuat Schruit khawatir akan terjadi sesuatu. Kabar buruk pertama yang diterima Schruit adalah kabel telegrafnya di pulau Jawa putus dihantam tiang roboh.
Selain itu juga ada cerita dari tempat lain Pulau Sumatra tepatnya di Katibung, Lampung Selatan. Seorang kontrolir yang bernama Beyerinck juga memperhatikan hal yang sama. Ia tercengang saat memperhatikan terjangan ombak-ombak yang tiada henti disekitar dermaga Katibung itu.
Menjelang hari kejadian itu, ada beberapa kapal-kapal yang sendang melaut di sekitar Selat Sunda, seperti Kapal Loudon, Marie, dan Charles Bal. Para pelaut kapal-kapal tersebut melaporkan kondisi laut di sekitar Selat Sunda, tetapi hal ini bagi mereka dianggap tidak membahayakan perjalanan mereka. Ombak di laut dianggap tidak berbahaya, kecuali saat kapal-kapal berada di dekat daratan.
Saat malam tiba ternyata kondisi gelombang laut semakin ganas. Beyerinck sempat memperhatikan perahu-perahu kecil diombang-ambingkan air laut bahkan sampai terputar-putar.
Pada saat menjelang subuh dan sinar matahari mulai sedikit menunjukkan rona merahnya pada tanggal 27 Agustus 1883. Apa yang dikhawatiran Beyerinck dan Schruit mulai menunjukkan buktinya. Gunung Krakatau mulai menunjukkan aktifitas letusannya. Ada empat kali letusan yang memicu gelombang laut bergerak liar dan semakin dahsyat.
Diambil dari referensi lain dari tulisan yang berjudul "Materials in Mechanical Extremes: Fundamentals and Applications (2013)", karya Neil Bourne. Pada saat letusan yang pertama pada pukul 05.30 fajar, dan kemudian dilanjutkan dengan letusan vulkanik besar berikutnya beberapa jam berikutnya, telah memicu terjadi gelombang tsunami besar sebanyak empat kali juga yang menhantam pantai-pantai sekitar Selat Sunda seperti selatan Pulau Sumatra dan pantai barat Pulau Jawa.
Dalam penjelasan Winchester dalam bukunya Krakatoa: The Day the World Exploded memberikan deskripsi tentang gelombang-gelombang air laut yang terjadi seperti bola-bola raksasa yang memiliki efek menghancurkan yang tak terbayangkan.
Gelombang tsunami besar yang terjadi digambarkan sebagai dinding-dinding air yang tinggi dan bergerak tak terhentikan dengan volume air mencapai ratusan milar ton gergulung-gulung menghajar apapun yang ada didepannya dengan diiringi suara gemuruh yang dahsyat.
Dari empat letusan tersebut yang paling dahsyat adalah yang ketiga pada jam 10.02 seperti yang dicatat oleh seorang petugas kolonial Belanda, demikian juga dengan gelombang tsunaminya yang menerjang dan memusnahkan semua yang berada di depannya.
Pada siang beberapa jam berikutnya aktivitas vulkanik Gunung Krakatau mulai mengjujani sekitarnya dengan abu panas yang mengguyur sekitar Ketimbang Lampung Selatan. Abu panas ini telah menewas tidak kurang dari 1.000 penduduk di Lampung Selatan itu, bahkan di Pulau Sebesi yang sangat berdekatan dengan Gunung Krakatau dengan jarak sekitar 13 kilometer saja, abu panas ini telah memusnahkan seluruh penduduk dengan jumlah sekitar 3000 orang.
Seoang kolonel Hindia Belanda seperti yang di Kartono Tjandra dalam sebuah tulisan yang berjudul Empat Bencana Geologi yang Paling Mematikan (2018), menjelaskan lebih dari 36 ribu orang telah tewas dalam tragedi vulkanik ini. Bahkan memberikan dampak cuaca yang dirasakan oleh penduduk di belahan bumi lainnya.
Setelah hari yang menyedihkan itu aktifitas vulkanik Gunung Krakatau masih berlangsung, tetapi dengan intensitas letusan yang semakin mengecil, dan para hari-hari berikutnya mulai mereda.
Setelah bencana itu kondisi dunia sempat gelap akibat abu vulkanik yang menyebar di dalam atmosfer bumi dan sinar matahari tertutup selama dua setengah hari, bahkan abu vulkanik Krakatau sempai terlihat di langit Norwegia dan juga New York, Amerika Serikat.
TheIndonesiaAdventure