Suku Badui atau yang orang Badui sendiri mengakui sebagai Urang Kanekes (Orang Kanekes) merupakan etnis yang menetap di wilayah Desa Kenekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Etnis ini bersikap eksklusif dan berusaha menjaga adat istiadat dari perubahan dan gerusan zaman yang cepat. Bahasa yang digunakan oleh Suku Badui adalah Bahasa Sunda halus, seperti yang digunakan juga oleh Suku Sunda pada umumnya.
Penggunaan nama Badui sebenarnya mengacu pada pemberian dari peneliti Belanda yang melihat kemiripan masyarakat di sini dengan masyarakat Badawi atau Bedoin di Arab, tetapi versi lain asal kata Badui mengambil dari nama Sungai Cibaduy yang terletak di bagian utara Desa Kanekes.
Orang Badui mengakui sebagai bebuyut asli dari Suku Sunda atau Kabuyutan Jati Sunda yang maksudnya adalah keturunan dari suku Sunda asli. Mereka juga mengistilahkan suku sunda mereka sebagai Sunda Wiwitan maksudnya adalah jati diri sunda asli. Sunda Wiwitan juga dikaitkan dengan kepercayaan animisme dan dinamisme mereka.
Menurut pendapat ahli Danasasmita dan Djatisunda suku Badui merupakan penduduk asli setempat yang dijadikan mandala “kawasan suci” secara resmi oleh raja (Raja Pakuan Pajajaran), karena penduduknya berkewajiban memelihara kebuyutan dan tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang". Kepercayaan ini bukan agama Hindu atau Budha, tetapi memang kepercayaan dari Sunda Wiwitan mereka.
Suku Badui berupaya mempertahankan tradisinya dari gerusan perubahan pada suku mereka. Mereka tetap tinggal selaras dengan alam di perkampungan yang khas suku Badui. Mereka memiliki keyakinan dinamisme dan animisme. Kepercayaan Suku Badui ini mereka sebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada keyakinan mereka kepada kekuatan arwah nenek moyang mereka.
Pada perkembangan kepercayaan ini, dipengaruhi juga oleh agama Islam dan Hindu. Mereka percaya dengan adannya Nabi Adam sebagai orang pertama dan menganggap bahwa Adam adalah bebuyutan dari Urang Kenekes. Tetapi dari sisi lain mereka juga percaya dengan kekuatan arwah para leluhur mereka. Selain itu Suku Badui juga meyakini berbagai aturan ketabuan yang mereka jaga ketat dalam kehidupannya terutama bagi Badui Dalam.
Suku Badui terdiri dari dua kelompok yaitu Suku Badui Dalam dan Suku Badui Luar. Kedua kelompok ini masih menyatu tetapi Suku Badui Luar lebih fleksibel dalam memegang prinsif ketabuan dan masih bergaul dengan dunia luar, sedangkan Badui Dalam masih tetap menjaga ketentuan dan ketabuan dari leluhur mereka secara ketat.
Suku Badui Luar juga sudah banyak menggunakan berbagai keperluan sehari-hari pada umumnya. Seperti penggunaan sabun mandi, sabun cucu, minyak goreng, kompor gas, barang elektronik dan anak-anak mereka juga sudah banyak yang pergi ke sekolah. Mereka juga makan menggunakan piring keramik, sendok dan gelas.
Pada masa lalunya saat hutan masih luas suku Badui suka berpindah-pindah mencari wilayah tinggal yang baru, tetapi kondisi itu berubah dan mereka menetap dan membuat kampung yang lebih permanen di Desa Kenekes.
Mata pencaharian suku badui pada umumnya adalah bertani dan berladang. Mereka menggunakan tanah hutan dan tanah ladang sebagai sumber penghidupan. Mereka menanam berbagai umbi-umbian, kopi, pisang dan tumbuhan lainnya. Mereka juga menanam padi dan membuat petak-petak sawah. Tanah yang subur dan air yang melimpah membuat hasil pertanian mereka tergolong produktif.
Pada saat musim tanam tiba mereka biasanya menggelar ritual yang disebut sebagai ritual Ngasek Pare. Ritual ini dilakukan pada saat musim menanam yang dilakukan secara bergotongroyong dengan kelompok para pria membuat lubang-lubang untuk bibit, dan kelompok wanita yang memasukkan bibit-bibit tanaman ke dalam lubang-lubang itu.
Selain bertani mereka juga menjual bahan hasil pertanian dan juga hasil dari hutan seperti buah-buahan. Buah hutan yang banyak mereka jual adalah durian, asam kranji, gula nila dan juga madu hutan asli. Kalau mereka keluar membawa hasil pertanain dan hutan ke pasar akan terlihat bahwa mereka adalah orang Badui melalui pakaian dan cara kebiasaan mereka. Gula nila (gula merah) hanya dijual oleh Badui Luar sedangkan Badui Dalam menggunakan air nila untuk menjadi minuman dan dilarang untuk dibuat gula merah.
Kebiasaanya yang umum dari seorang Suku Badui yang sedang keluar dapat dilihat dari kebiasaannya tidak menggunakan alas kaki. Seorang lelaki yang sedang bepergian jauh selalu membawa sebuah tongkat yang digunakan mereka untuk menjaga dari binatang liar atau gangguan lainnya. Mereka juga membawa tas yang dibuat secara sederhana oleh mereka sendiri. Biasanya tasnya berwarna hitam atau berwarna putih.
Setiap hari para lelaki Suku Badui berangkat ke ladang sedangkan yang perempuan berada di rumah untuk memasak dan menghabiskan waktu lainnya untuk menenun. Aktifits menenun ini sudah turun temurun. Sehingga pakaian Badui Dalam adalah hasil dari tenunan tangan mereka sendiri. Pakaian Badui Dalam pada umumnya adalah berwarna putih, warna asli dari kapas.
Kemampuan menenun para wanita di kalangan Suku Badui sudah sangat baik, karena sudah menjadi kebiasaan dan tradisi. Hasil tenunannya memiliki ciri dan motif sendiri. Ada perbedaan warna pada hasil tenunan Badui Dalam dengan Badui Luar. Badui Dalam masih mempertahankan warna asli dari kain. Sedangkan motif dari hasil tenunan Badui Luar lebih bervariasi, umumnya warna hitam, tetapi ada juga yang motif kombinasi antara hitam, putih dan biru. Kain tenunan warna hitam dan biru biasa digunakan untuk penutup kepala seorang lelaki Badui Luar pada acara-acara ritual mereka.
Untuk Badui Luar pakaian sudah banyak membeli dari pasar disekitar dan sudah menggunakan pakaian kaos, jean, atau kain sarung yang berasal dari luar, selain juga yang berasal dari tenunan mereka sendiri. Pakaian Badui Luar yang menjadi adatnya adalah hitam, tetapi hanya digunakan pada acara-acara tertentu saja. Untuk sehari-hari mereka menggunakan pakaian seperti masyarakat umumnya.
Suku Badui Luar juga sudah banyak yang memeluk Islam atau agama lainnya. Mereka bahkan juga sudah banyak yang meninggalkan tradisi lama mereka dan bergabung dengan berbagai perubahan di luar. Terutama bagi mereka yang sudah menerima pendidikan, kemudian pindah mencari penghidupan yang baru.
Sebenarnya kalau Badui Luar saat sekarang ini sudah nyaris seperti masyarakat umumnya yang menerima perubahan bahakn teknologi canggih. Jangan kaget kalau ada seorang Badui Luar yang bernama Misnah sudah menggunakan jaringan on line untuk pemasaran hasil tenunan masyarakat Badui.
Sedangkan Suku Badui Dalam sama sekali menolak hal yang berasal dari luar. Mereka tetap mandi cuci di sungai tanpa menggunakan sabun, tetapi bahan alami dari alam tumbuhan yang sudah turun temurun mereka gunakan. Badui Dalam memasak menggunakan kayu bakar, tetapi sudah menggunakan wajan yang umum digunakan. Mereka makan dengan tangan dan menggunakan pelapis daun pisang atau daun lebar lainnya.
Suku Badui Dalam memiliki tiga kampung yang semuanya diatur oleh seorang Pu'un atau Ketua Adat Tertinggi yang dibantu oleh seorang wakilnya yang disebut sebagai Jaro. Tiga kampung tersebut yaitu Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.
Suku Badui Luar pada umumnya sudah menyebar kebanyak tempat di luar tiga kampung tersebut, tetapi masih dominan di sekitar bukit-bukit di Pegunungan Kendeng, Lebak.
Suku Badui sangat menghargai dan mencintai alam, mereka meyakini bahwa alam menjaga mereka kalau mereka juga menjaga alam. Prinsip ini akan selalu terlihat dalam berbagai aspek dalam kehidupan Suku Badui. Keselarasan dengan alam menempatkan mereka tidak mudah untuk merusak hutan, tetapi menjaga hutan sebagai rumah mereka.
Photografer : Yoga Y.
Tag. : Badui, Suku Badui, Badui di Lebak, Etnis Badui, Badui Dalam, Badui Luar, Wisata Banten, Wisata Kabupaten Lebak
Penggunaan nama Badui sebenarnya mengacu pada pemberian dari peneliti Belanda yang melihat kemiripan masyarakat di sini dengan masyarakat Badawi atau Bedoin di Arab, tetapi versi lain asal kata Badui mengambil dari nama Sungai Cibaduy yang terletak di bagian utara Desa Kanekes.
Anak-anak Suku Badui yang sedang mandi dii sungai. |
Orang Badui mengakui sebagai bebuyut asli dari Suku Sunda atau Kabuyutan Jati Sunda yang maksudnya adalah keturunan dari suku Sunda asli. Mereka juga mengistilahkan suku sunda mereka sebagai Sunda Wiwitan maksudnya adalah jati diri sunda asli. Sunda Wiwitan juga dikaitkan dengan kepercayaan animisme dan dinamisme mereka.
Menurut pendapat ahli Danasasmita dan Djatisunda suku Badui merupakan penduduk asli setempat yang dijadikan mandala “kawasan suci” secara resmi oleh raja (Raja Pakuan Pajajaran), karena penduduknya berkewajiban memelihara kebuyutan dan tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang". Kepercayaan ini bukan agama Hindu atau Budha, tetapi memang kepercayaan dari Sunda Wiwitan mereka.
Suku Badui berupaya mempertahankan tradisinya dari gerusan perubahan pada suku mereka. Mereka tetap tinggal selaras dengan alam di perkampungan yang khas suku Badui. Mereka memiliki keyakinan dinamisme dan animisme. Kepercayaan Suku Badui ini mereka sebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada keyakinan mereka kepada kekuatan arwah nenek moyang mereka.
Pada perkembangan kepercayaan ini, dipengaruhi juga oleh agama Islam dan Hindu. Mereka percaya dengan adannya Nabi Adam sebagai orang pertama dan menganggap bahwa Adam adalah bebuyutan dari Urang Kenekes. Tetapi dari sisi lain mereka juga percaya dengan kekuatan arwah para leluhur mereka. Selain itu Suku Badui juga meyakini berbagai aturan ketabuan yang mereka jaga ketat dalam kehidupannya terutama bagi Badui Dalam.
Perkampungan Suku Badui Dalam di Lebak, Provinsi Banten |
Suku Badui Luar juga sudah banyak menggunakan berbagai keperluan sehari-hari pada umumnya. Seperti penggunaan sabun mandi, sabun cucu, minyak goreng, kompor gas, barang elektronik dan anak-anak mereka juga sudah banyak yang pergi ke sekolah. Mereka juga makan menggunakan piring keramik, sendok dan gelas.
Pada masa lalunya saat hutan masih luas suku Badui suka berpindah-pindah mencari wilayah tinggal yang baru, tetapi kondisi itu berubah dan mereka menetap dan membuat kampung yang lebih permanen di Desa Kenekes.
Mata pencaharian suku badui pada umumnya adalah bertani dan berladang. Mereka menggunakan tanah hutan dan tanah ladang sebagai sumber penghidupan. Mereka menanam berbagai umbi-umbian, kopi, pisang dan tumbuhan lainnya. Mereka juga menanam padi dan membuat petak-petak sawah. Tanah yang subur dan air yang melimpah membuat hasil pertanian mereka tergolong produktif.
Pada saat musim tanam tiba mereka biasanya menggelar ritual yang disebut sebagai ritual Ngasek Pare. Ritual ini dilakukan pada saat musim menanam yang dilakukan secara bergotongroyong dengan kelompok para pria membuat lubang-lubang untuk bibit, dan kelompok wanita yang memasukkan bibit-bibit tanaman ke dalam lubang-lubang itu.
Selain bertani mereka juga menjual bahan hasil pertanian dan juga hasil dari hutan seperti buah-buahan. Buah hutan yang banyak mereka jual adalah durian, asam kranji, gula nila dan juga madu hutan asli. Kalau mereka keluar membawa hasil pertanain dan hutan ke pasar akan terlihat bahwa mereka adalah orang Badui melalui pakaian dan cara kebiasaan mereka. Gula nila (gula merah) hanya dijual oleh Badui Luar sedangkan Badui Dalam menggunakan air nila untuk menjadi minuman dan dilarang untuk dibuat gula merah.
Kebiasaanya yang umum dari seorang Suku Badui yang sedang keluar dapat dilihat dari kebiasaannya tidak menggunakan alas kaki. Seorang lelaki yang sedang bepergian jauh selalu membawa sebuah tongkat yang digunakan mereka untuk menjaga dari binatang liar atau gangguan lainnya. Mereka juga membawa tas yang dibuat secara sederhana oleh mereka sendiri. Biasanya tasnya berwarna hitam atau berwarna putih.
Setiap hari para lelaki Suku Badui berangkat ke ladang sedangkan yang perempuan berada di rumah untuk memasak dan menghabiskan waktu lainnya untuk menenun. Aktifits menenun ini sudah turun temurun. Sehingga pakaian Badui Dalam adalah hasil dari tenunan tangan mereka sendiri. Pakaian Badui Dalam pada umumnya adalah berwarna putih, warna asli dari kapas.
Kemampuan menenun para wanita di kalangan Suku Badui sudah sangat baik, karena sudah menjadi kebiasaan dan tradisi. Hasil tenunannya memiliki ciri dan motif sendiri. Ada perbedaan warna pada hasil tenunan Badui Dalam dengan Badui Luar. Badui Dalam masih mempertahankan warna asli dari kain. Sedangkan motif dari hasil tenunan Badui Luar lebih bervariasi, umumnya warna hitam, tetapi ada juga yang motif kombinasi antara hitam, putih dan biru. Kain tenunan warna hitam dan biru biasa digunakan untuk penutup kepala seorang lelaki Badui Luar pada acara-acara ritual mereka.
Untuk Badui Luar pakaian sudah banyak membeli dari pasar disekitar dan sudah menggunakan pakaian kaos, jean, atau kain sarung yang berasal dari luar, selain juga yang berasal dari tenunan mereka sendiri. Pakaian Badui Luar yang menjadi adatnya adalah hitam, tetapi hanya digunakan pada acara-acara tertentu saja. Untuk sehari-hari mereka menggunakan pakaian seperti masyarakat umumnya.
Seorang anak Suku Badui yang sedang mandi di sungai |
Suku Badui Luar juga sudah banyak yang memeluk Islam atau agama lainnya. Mereka bahkan juga sudah banyak yang meninggalkan tradisi lama mereka dan bergabung dengan berbagai perubahan di luar. Terutama bagi mereka yang sudah menerima pendidikan, kemudian pindah mencari penghidupan yang baru.
Sebenarnya kalau Badui Luar saat sekarang ini sudah nyaris seperti masyarakat umumnya yang menerima perubahan bahakn teknologi canggih. Jangan kaget kalau ada seorang Badui Luar yang bernama Misnah sudah menggunakan jaringan on line untuk pemasaran hasil tenunan masyarakat Badui.
Sebuah keluarga dari Badui Luar di Lebak Banten |
Sedangkan Suku Badui Dalam sama sekali menolak hal yang berasal dari luar. Mereka tetap mandi cuci di sungai tanpa menggunakan sabun, tetapi bahan alami dari alam tumbuhan yang sudah turun temurun mereka gunakan. Badui Dalam memasak menggunakan kayu bakar, tetapi sudah menggunakan wajan yang umum digunakan. Mereka makan dengan tangan dan menggunakan pelapis daun pisang atau daun lebar lainnya.
Seorang anak perempuan Suku Badui |
Suku Badui Dalam memiliki tiga kampung yang semuanya diatur oleh seorang Pu'un atau Ketua Adat Tertinggi yang dibantu oleh seorang wakilnya yang disebut sebagai Jaro. Tiga kampung tersebut yaitu Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.
Suku Badui Luar pada umumnya sudah menyebar kebanyak tempat di luar tiga kampung tersebut, tetapi masih dominan di sekitar bukit-bukit di Pegunungan Kendeng, Lebak.
Perkampungan Suku Badui Luar di Lebak, Banten |
Suku Badui sangat menghargai dan mencintai alam, mereka meyakini bahwa alam menjaga mereka kalau mereka juga menjaga alam. Prinsip ini akan selalu terlihat dalam berbagai aspek dalam kehidupan Suku Badui. Keselarasan dengan alam menempatkan mereka tidak mudah untuk merusak hutan, tetapi menjaga hutan sebagai rumah mereka.
Jembatan Badui yang terbuat dari rajutan akar dan batang-batang bambu. |