Gedung Joeang yang terletak di pinggir Pantai Padang tepatnya jalan Samudra No.8, Gedung ini berdiri kokoh laksana seorang pejuang yang siap berkorban demi kemerdekaan dan harga diri bangsa.
Selain menjadi saksi bisu rentetan sejarah perlawanan terhadap bangsa asing di kota Padang, gedung ini juga menyimpan berbagai koleksi foto – foto tempo dulu, perlengkapan persenjataan, berbagai peralatan serta koleksi buku sejarah. Gedung tersebut didirikan pada tahun 1909 dan dahulunya merupakan kantor Perwakilan Dagang Jerman di pantai Barat Sumatera.
Setelah masuknya Jepang ke Indonesia pada tahun 1942 membuat kepemilikan gedung ini berpindah ke tangan serdadu Jepang dan mereka menjadikan gedung ini sebagai markas pasukan yang juga berfungsi sebagai penjaga keamanan pantai dan kawasan barat Kota Padang.
Akhir bertekuk lututnya Jepang terhadap sekutu. Imbas dari keadaan ini peta kekuatan Jepang mulai melemah teruma dikawasan pantai barat pulau Sumatera. Jepang pun mulai tidak berdaya menghadapi perlawanan dan serangan masyarakat Kota Padang sehingga gedung bekas konsulat dagang Jerman ini ditinggalkan begitu saja oleh pasukan Jepang. Pada saat itu, semua tentara jepang berkumpul di tangsi militar yang berlokasi di daerah ganting.
Menyikapi kekosongan kekuasaan maka pada tanggal 21 Agustus 1945, Bapak Chatib Sulaiman beserta Ismael Lengah (mantan Angkatan Giyugun I Padang) berinisiatif untuk mendirikan BPPI atau Balai Penerangan Pemuda Indonesia. BPPI adalah suatu organisasi yang bertugas menjaga keamanan serta sebagai media penyuara informasi kemerdekaan Republik Indonesia di Sumatera Barat.
Bapak Ismael Lengah menformat organisasi tersebut dengan 8 pasukan induk yang anggotanya merupakan mantan dari Giyugun, Kai – gun, Hei Ho, Seinendan, Bagodan, dan Kaisat Sutai. Gedung ini pun kemudian dijadikan sebagi markas keamanan di Kota Padang sekitar pantai dan didiami oleh pasukan yang diketuai oleh Yusuf Ali atau yang dikenal dengan Black Cat.
Kedatangan sekutu yang diboncengi oleh Belanda pada tanggal 13 Oktober 1945, membuat gedung ini berpindah tangan kepada Belanda. Akhirnya, melalui Konfrensi Meja Bundar pada tanggal 27 Desember 1949, gedung ini diserahkan kepada residen Sumatera Barat setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda.
Selanjutnya gedung ini dijadikan markas Resimen – IV Tentara dan Territorium I / Bukit Barisan. Tanggal 15 Februari 1987, gedung ini diserahkan oleh DANREM 032 kepada Dewan Harian Daerah Angkatan ’45 (DHD’45) untuk dijadikan kantor harian Angkatan ’45 Sumatera Barat. Sesuai dengan MUNAS Angkatan ’45 ke VII di Ujung Pandang maka setiap kantor harian DHD’45 yang ada di seluruh Indonesia, secara bertahap dijadikan Gedung Joang dan akan difungsikan sebagi ’Museum Joang 45’.
Pada tanggal 17 Agustus 1987 gedung yang berfungsi sebagai lembaga pembudayaan kejuangan’ 45 ini diresmikan oleh Gubernur Sumatera Barat Ir. Azwar Anas. Museum Joang 45 ini bediri diatas lahan seluas 4.790M2 dan saat ini terbuka untuk umum. Dengan luas bagunan 428M2 museum ini menampung benda – benda bersejarah terutama dalam kurun waktu 1945 sampai dengan 1949.
Koleksi terdapat pada lantai dasar Museun Djoang 45 diantaranya; 1. Foto – foto awal perjuangan revolusi, perundingan Linggarjati, Agresi Belanda I, Perundingan Renville, Tokoh – tokoh Revolusi, Tentara Pelajar dan lain lain. 2. Senjata dan peralatan masa lalu seperti keris, cetakan logam, peta Agresi Militer Belanda dan lain lain. Sedangkan koleksi buku yang telah mencapai 1.000 buah dapat ditemui pada lantai 2 Museum. Sebagian besar buku tersebut adalah buku sejarah dan buku – buku sosial, budaya, politik, hukum dan agama. Opening Hour Senin ; Tutup Selasa s/d Jumat ; 08.00 – 14.00 WIB Sabtu s/d Minggu; 08.00 – 16.00 WIB.
Sumber : tourism.padang.go.id